“Anakku, ayah melihat orang-orang di sini
sudah mulai memuji paras cantikmu. Maka mulai hari ini ayah
ingin kamu sudah
mengenakan hijab dengan sempurna, karena kamu sudah menjadi wanita dewasa
sekarang.” Untaian kata penuh kasih sayang itu dituturkan dengan suara lembut
oleh Sultan Abdul Hamid II kepada anaknya Aishah saat mereka tengah melintas di
depan Masjid Hamidiye Yildiz yang terletak tidak jauh dari pintu masuk
istananya.
Di depan masjid ini, terlalu banyak kisah yang
memilukan hati menimpa diri dan keluarga Sultan. Percobaan pembunuhan dengan
meletakkan bom di dalam kereta kuda Sultan. Pengeboman itu terjadi berselang
beberapa saat usai shalat Jumat. Allah masih menghendaki Sultan Abdul Hamid
tetap bertakhta memimpin umat. Upaya menghabisi nyawa orang nomor satu di dunia
Islam itu kandas.
Di depan istana ini, Sultan sering
melaksanakan shalat dan keluar menyapa rakyat yang selalu dekat di hatinya.
Di situ juga, Sultan sesekali menunggang kuda
ditemani anaknya Aishah, sambil menitahkan arti penting menegakkan syariah bagi
muslimah. Sejak saat itu anaknya mutahajibah (berhijab) sempurna, ini
menandakan putrinya Aishah Osmanuglu telah memasuki usia aqil baligh.
Istana Yildiz yang terbuat dari kayu ini
adalah tempat tinggal pilihan Sultan Abdul Hamid II, setelah beliau
meninggalkan segala bentuk kemewahan kaum keluarganya yang sebelum ini di
Istana Dolmabahce.
Sultan Abdul Hamid II, lahir pada hari Rabu,
21 September 1842. Dengan nama lengkap Abdul Hamid Khan II bin Abdul Majid
Khan. Sultan adalah putra Abdul Majid dari istri kedua beliau. Ibunya meninggal
saat Abdul Hamid berusia 7 tahun. Sultan menguasai bahasa Turki, Arab, dan
Persia. Senang membaca dan bersyair.
Sebelumnya kekhalifahan dipimpim pamannya
yaitu Abdul Aziz yang berkuasa cukup lama. Sultan Abdul Aziz digulingkan
kemudian dibunuh oleh musuh politik Khilafah Utsmaniyyah. Khalifah setelah
Abdul Aziz adalah Sultan Murad V, putra Abdul Aziz. Namun kekuasaannya tidak
berlangsung lama dan digulingkan setelah 93 hari berkuasa karena dianggap tidak
becus menjadi khalifah.
Sultan Abdul Aziz mewariskan negara dalam
kondisi yang carut marut. Tunggakkan hutang luar negeri, parlemen yang mandul,
campur tangan asing di dalam negeri, tarik menarik antar berbagai kepentingan
Dewan Negara dan Dewan Menteri serta
birokrat-birokrat yang korup.
Pada 41 Agustus 1876 (1293 H), Sultan Abdul
Hamid dibai’at sebagai Khalifah. Saat itu usianya 34 tahun. Dia menyadari bahwa
pembunuhan pamannya serta perubahan-perubahan kekuasaan yang terjadi saat itu
merupakan konspirasi global melawan Khilafah Islamiyah. Namun Sultan Abdul
Hamid II dapat menjalankan roda pemerintahannya dengan baik, sering berbicara
dengan berbagai lapisan masyarakat, baik birokrat, intelektual, rakyat jelata maupun dari
kelompok-kelompok yang kurang disukainya (lihat Shaw, 1977:212).
Kebijaksanaannya untuk mengayomi seluruh kaum
Muslimin membuat ia populer. Namanya sering disebut dalam doa-doa di setiap
shalat jumat diseantero bumi. Penggalangan
kekuatan kaum Muslimin dan kesetiaan mereka terhadap Sultan Abdul Hamid
II ini berhasil mengurangi tekanan Eropa
terhadap Utsmaniyyah.
Abdul Hamid mengemban amanah dengan memimpin
sebuah negara adidaya yang luasnya membentang dari timur dan barat. Di tengah
situasi negara yang genting dan kritis. Beliau menghabiskan 30 tahun kekuasaan
sebagai Khalifah dengan dikelilingi konspirasi, intrik, fitnah dari dalam
negeri sementara dari luar negeri ada perang, revolusi, dan ancaman
disintegrasi dan tuntutan berbagai perubahan yang senantiasa terjadi.
Termasuk upaya-upaya sistematis yang dilakukan
kaum Yahudi untuk mendapatkan tempat tinggal permanen di tanah Palestina yang
masih menjadi bagian dari wilayah kekhalifahan Utsmaniyyah. Berbagai langkah
dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding khilafah
Utsmaniyyah, agar mereka dapat memasuki Palestina.
Pertama, pada tahun 1892, sekelompok Yahudi
Rusia mengajukan permohonan kepada sultan Abdul Hamid, untuk mendapatkan ijin
tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab sultan dengan ucapan “Pemerintan
Ustmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke
Turki, bahwa mereka tidak akan diijinkan menetap di Palestina”, mendengar
jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika
turut campur tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, penulis Der Judenstaat
(Negara Yahudi), founder negara Israel sekarang, pada tahun 1896 memberanikan
diri menemuai Sultan Abdul Hamid sambil meminta ijin mendirikan gedung di al
Quds. Permohonan itu dijawab sultan “Sesungguhnya imperium Utsmani ini adalah
milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu
simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.
Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian
membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31
agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah
Ustmaniyyah.
Karena gencarnya aktivitas Yahudi Zionis
akhirnya Sultan pada tahun 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan
peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal disana lebih dari tiga bulan, paspor
Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada tahun 1901
Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di
Palestina.
Pada tahun 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya
menghadap Sultan Abdul Hamid untuk melakukan risywah (Menyogok). Diantara
risywah yang disodorkan Hertzl kepada Sultan adalah :
1. 150 juta poundsterling Inggris khusus untuk
Sultan.
2. Membayar semua hutang pemerintah
Ustmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling Inggris.
3. Membangun kapal induk untuk pemerintah,
dengan biaya 120 juta Frank
4. Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa
bunga.
5. Membangun Universitas Ustmaniyyah di
Palestina.
Semuanya ditolak Sultan, bahkan Sultan tidak
mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil
mengirim pesan, “Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku
tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan
milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi
kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi
silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu
hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan
tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku
daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah
Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan
memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan Zionisme
melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon
“liberation”, “freedom”, dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul
Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya.
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin
terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk
apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah
di sini. Di Istanbul!” Tulis Sultan Abdul Hamid dalam catatan hariannya.
Malam itu, 27 April 1909 Sultan Abdul Hamid
dan keluarganya kedatangan beberapa orang tamu tak diundang. Kedatangan mereka
ke Istana Yildiz menjadi catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan.
Mereka mengatasnamakan perwakilan 240 anggota Parlemen Utsmaniyyah—di bawah
tekanan dari Turki Muda—yang setuju penggulingan Abdul Hamid II dari
kekuasaannya. Senator Sheikh Hamdi Afandi Mali mengeluarkan fatwa tentang
penggulingan tersebut, dan akhirnya disetujui oleh anggota senat yang lain.
Fatwa tersebut terlihat sangat aneh dan setiap orang pasti mengetahui track
record perjuangan Abdul Hamid II bahwa fatwa tersebut bertentangan dengan realitas
di lapangan.
Keempat utusan itu adalah Emmanuel Carasso,
seorang Yahudi warga Italia dan wakil rakyat Salonika (Thessaloniki) di
Parlemen Utsmaniyyah (Meclis-i Mebusan) melangkah masuk ke istana Yildiz. Turut
bersamanya adalah Aram Efendi, wakil rakyat Armenia, Laz Arif Hikmet Pasha,
anggota Dewan Senat yang juga panglima militer Utsmaniyyah, serta Arnavut Esat
Toptani, wakil rakyat daerah Daraj di Meclis-i Mebusan.
“Bukankah jam-jam seperti ini adalah waktu
dimana aku harus menunaikan kewajibanku terhadap keluarga. Tidak bisakah kalian
bicarakan masalah ini besok pagi?” Sultan Abdul Hamid tidak leluasa menerima
kedatangan mereka yang kelihatannya begitu tiba-tiba dan mendesak. Tidak ada
simpati di raut wajah mereka.
“Negara telah memecat Anda!” Esat Pasha
memberitahu kedatangannya dengan nada angkuh. Kemudian satu persatu wajah
anggota rombongan itu diperhatikan dengan seksama oleh Sultan.
“Negara telah memecatku, itu tidak masalah,….
tapi kenapa kalian membawa serta Yahudi ini masuk ke tempatku?” Spontan Sultan
marah besar sambil menundingkan jarinya kepada Emmanuel Carasso.
Sultan Abdul Hamid memang kenal benar siapa
Emmanuel Carasso itu. Dialah yang bersekongkol bersama Theodor Herzl ketika
ingin mendapatkan izin menempatkan Yahudi di Palestina. Mereka menawarkan
pembelian ladang milik Sultan Abdul Hamid di Sancak Palestina sebagai tempat
pemukiman Yahudi di Tanah Suci itu. Sultan Abdul Hamid menolaknya dengan tegas,
termasuk alternatif mereka yang mau menyewa tanah itu selama 99 tahun.
Pendirian tegas Sultan Abdul Hamid untuk tidak
mengizinkan Yahudi bermukim di Palestina, telah menyebabkan Yahudi sedunia
mengamuk. Harganya terlalu mahal. Sultan Abdul Hamid kehilangan takhta, dan
Khilafah disembelih agar tamat riwayatnya.
Jelas terlihat bahwa saat tersebut adalah saat
pembalasan paling dinanti oleh Yahudi, dimana Abdul Hamid II yang telah menolak
menjual Palestina pada mereka, telah mereka tunjukkan di depan muka Abdul Hamid
II sendiri bahwa mereka turut ambil bagian dalam penggulingannya dari kekuasaan.
Mendung menggelayuti wajah Abdul Hamid II dan wajah Khilafah Islamiyah.
“Sesungguhnya aku sendiri tidak tahu, siapakah
sebenarnya yang memilih mereka ini untuk menyampaikan berita penggulinganku
malam itu.” Sultan Abdul Hamid meluapkan derita hatinya di dalam catatan
hariannya.
Rencana menggulingkan Sultan sebenarnya sudah
disiapkan lama sebelum malam itu. Beberapa Jumat belakangan ini, nama Sultan
sudah tidak disebut lagi di dalam khutbah-khutbah.
“Walaupun Anda dipecat, kelangsungan hidup
Anda berada dalam jaminan kami.” Esat Pasha menyambung pembicaraan.
Sultan Abdul Hamid memandang wajah puteranya
Abdul Rahim, serta puterinya yang terpaksa menyaksikan pengkhianatan terhadap
dirinya. Malang sungguh anak-anak ini terpaksa menyaksikan kejadian yang
memilukan malam itu.
“Bawa adik-adikmu ke dalam.” Sultan Abdul
Hamid menyuruhh Amir Abdul Rahim membawa adik-adiknya ke dalam kamar.
“Aku tidak membantah keputusanmu. Cuma satu
hal yang kuharapkan. Izinkanlah aku bersama keluargaku tinggal di istana Caragan.
Anak-anakku banyak. Mereka masih kecil dan aku sebagai ayah perlu menyekolahkan
mereka.” Sultan Abdul Hamid meminta pertimbangan. Sultan sadar akan tidak ada
gunanya membantah keputusan yang dibawa rombongan itu. Itulah kerisauan
terakhir Sultan Abdul Hamid. Membayangkan masa depan anak-anaknya yang banyak.
Sembilan laki-laki dan tujuh perempuan.
Permintaan Sultan Abdul Hamid ditolak
mentah-mentah oleh keempat orang itu. Malam itu juga, Sultan bersama para
anggota keluarganya dengan hanya mengenakan pakaian yang menempel di badan
diangkut di tengah gelap gulita menuju ke Stasiun kereta api Sirkeci. Mereka
digusur pergi meninggalkan bumi Khilafah, ke istana kumuh milik Yahudi di
Salonika, tempat pengasingan negara sebelum seluruh khalifah dimusnahkan di
tangan musuh Allah.
Khalifah terakhir umat Islam, dan keluarganya
itu dibuang ke Salonika, Yunani. Angin lesu bertiup bersama gerimis salju di
malam itu. Pohon-pohon yang tinggal rangka, seakan turut sedih mengiringi
tragedi memilukan itu.
Di Eminonu, terlihat Galata di seberang teluk
sedih. Bukit itu pernah menyaksikan kegemilangan Sultan Muhammad al-Fatih dan
tentaranya yang telah menarik 70 kapal menyeberangi bukit itu dalam tempo satu
malam. Mereka menerobos teluk Bosphorus yang telah dirantai pintu masuknya oleh
Kaisar Constantinople. Sejarah itu sejarah gemilang. Tak akan pernah hilang.
Terhadap peristiwa pemecatannya, Sultan Abdul
Hamid II mengungkap kegundahan hatinya yang dituangkan dalam surat kepada
salah seorang gurunya Syekh Mahmud Abu Shamad
yang berbunyi:
“…Saya meninggalkan kekhalifahan bukan karena
suatu sebab tertentu, melainkan karena tipu daya dengan berbagai tekanan dan
ancaman dari para tokoh Organisasi Persatuan yang dikenal dengan sebutan Cun
Turk (Jeune Turk), sehingga dengan berat hati dan terpaksa saya meninggalkan
kekhalifahan itu. Sebelumnya, organisasi ini
telah mendesak saya berulang-ulang agar menyetujui dibentuknya sebuah
negara nasional bagi bangsa Yahudi di
Palestina. Saya tetap tidak menyetujui permohonan beruntun dan bertubi-tubi
yang memalukan ini. Akhirnya mereka menjanjikan uang sebesar 150 juta
pounsterling emas.
Saya tetap dengan tegas menolak tawaran itu. Saya menjawab dengan
mengatakan, “Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak
akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku hidup mengabdi kepada
kaum Muslimin dan kepada Islam itu sendiri. Aku tidak akan mencoreng lembaran
sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para Sultan dan Khalifah
Uthmaniah. Sekali lagi aku tidak akan menerima tawaran kalian.”
Setelah mendengar dan mengetahui sikap dari
jawaban saya itu, mereka dengan kekuatan gerakan rahasianya memaksa saya
menanggalkan kekhalifahan, dan mengancam akan mengasingkan saya di Salonika.
Maka terpaksa saya menerima keputusan itu daripada menyetujui permintaan
mereka.
Saya banyak bersyukur kepada Allah, karena
saya menolak untuk mencoreng Daulah Uthmaniah, dan dunia Islam pada umumnya
dengan noda abadi yang diakibatkan oleh berdirinya negeri Yahudi
di tanah Palestina. Biarlah semua berlalu. Saya tidak bosan-bosan
mengulang rasa syukur kepada Allah
Ta’ala, yang telah menyelamatkan kita dari aib besar itu.
Saya rasa cukup di sini apa yang perlu saya
sampaikan dan sudilah Anda dan segenap ikhwan menerima salam hormat saya.
Guruku yang mulia. mungkin sudah terlalu
banyak yang saya sampaikan. Harapan saya, semoga Anda beserta jama’ah yang anda bina bisa memaklumi semua itu.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
22 September 1909
ttd
Pelayan Kaum Muslimin
(Abdul Hamid bin Abdul Majid)
Deru langkah tentara kedengaran melangkah
menuju istana. Meriam ditembakkan sebagai tanda Sultan Mehmed V dinobatkan
menjadi penguasa Utsmaniyyah. Resmilah malam itu Sultan Mehmed V menjadi
Khalifah ke 99 umat Islam terhitung sejak Abu Bakr al-Siddiq ra. Tetapi
khalifah yang satu ini sudah tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Hanya boneka
pengumpan yang hanya akan mempercepat pemberontakan untuk pembubaran Khilafah
Utsmaniyyah.
“Entahlah, di saat hidup dan matiku tidak
menentu, aku merasa begitu tenang dan aman. Seperti sebuah gunung besar yang
selama ini mengendap di dadaku, ketika diangkat terasa lega!” keluh Sultan
Abdul Hamid
Sultan Abdul Hamid mengusap kepala anaknya
Abdul Rahim yang menangis ketakutan. Anak-anaknya yang lain turut menangis.
Perjalanan dari Sirkeci Istanbul menuju ke Salonika Yunani penuh misteri.
“Sabarlah anak-anakku. Jika Allah
mengkehendaki kematian bagi kita, bukankah kematian itu kesudahan untuk semua.”
Sultan Abdul Hamid memberi motivasi kepada seluruh kerabatnya saat.Kereta api
tengah meluncur laju. Bumi khilafah ditinggalkan di belakang. Sejarah
kegemilangan 600 tahun Bani Usman, berakhir malam itu. Balutan hitam yang
mustahil untuk diputihkan kembali.
Di tengah suasana malam yang sejuk, Sultan
Abdul Hamid II melonjorkan kakinya di atas bangku kereta api sambil
dipijit-pijit oleh anaknya Fatimah.
“Sabarlah anakku, negara tidak tahu apa yang
telah mereka lakukan kepada umat Muhammad ini.” Sultan mengusap wajahnya yang
berlinangan air mata.
Terlalu lama Sultan dan keluarganya dikurung
di istana kumuh milik Yahudi itu. Mereka dikurung dalam kamar tanpa perabotan
sama sekali. Pintu dan jendela dilarang dibuka. Hari demi hari, adalah
penantian kematian sebelum mati bagi Sultan dan keluarganya. Akhirnya pada tahun
1912, Sultan Abdul Hamid dipulangkan ke Istanbul, akan tetapi anak-anaknya
dipisah-pisahkan, bercerai berai. Dibuang ke Perancis menjadi pengemis yang
hidup terlunta-lunta di emperan jalan.
Kondisi di pembuangan Salonika atau di istana
tua Beylerbeyi Istanbul sama saja bahkan lebih parah. Sultan dan beberapa
anggota keluarganya yang tersisa tidak dibenarkan keluar sama sekali hatta
sekedar pergi ke perkarangan istana kecuali untuk shalat Jumat di luar istana,
tentunya dengan penjagaan yang super ketat. Makanan untuk Sultan dan putera
puterinya ditakar sedemikian rupa, dengan kualitas makanan yang sangat rendah
bahkan seluruh hartanya dirampas habis oleh tentera Ataturk.
Hari-hari yang dilalui Sultan dalam pembuangan
dan pengasingan sangat menyedihkan. Dia dan keluarganya selalu diancam akan
dibunuh, istana tua itu akan diledakkan. Pada suatu pagi selesai shalat Subuh,
Sultan memanggil puteranya, Abdul Rahman. Dialah ahli waris terpenting setelah
ketiadaan Sultan nanti.
“Kita akan berikan semua harta kita kepada
pihak tentara karena mereka memaksa kita menyerahkannya.” Keluh Sultan kepada
Abdul Rahman dengan nada sedih.
Puteranya itu menangis terisak hebat. Dia
menjadi amat takut dengan para tentara yang bengis itu. Beberapa hari kemudian
di lobi Deutche Bank, Istanbul, terjadi serah terima secara paksa semua harta
Sultan, termasuk seluruh tabungan Sultan kepada pihak tentara.
Sultan tinggal di istana tua sebagai penjara
di Beylerbeyi selama 6 tahun dalam kondisi yang sangat memperihatinkan. Tubuh
kurus kering dan mengidap penyakit paru yang akut. Sultan benar-benar diisolasi
dari dunia luar, sampai-sampai untuk mengobati penyakit saja dipersulit.
“Maafkan saya, Tuanku. Mereka tidak
mengijinkan saya untuk hadir lebih awal,” dokter yang merawat Sultan Abdul Hamid
sambil berbisik. Nafas Sultan Abdul Hamid turun naik. Penyakit asthmanya
semakin serius. Dokter sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Sultan Abdul Hamid II menghembuskan nafas
terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari, 1918. Kepergiannya diratapi
seluruh penduduk Istanbul karena mereka sudah sadar. Berkat kebodohan mereka
membiarkan Khilafah Utsmaniyyah dilumpuhkan setelah pencopotan jabatan
khilafahnya, 10 tahun yang lalu. Menangislah… tiada sejarah yang mampu
memadamkan penyesalan itu. Wa…Islama!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar